Click on a thumbnail to go to Google Books.
Loading... Stasiunby Putu WijayaNone Loading...
Sign up for LibraryThing to find out whether you'll like this book. No current Talk conversations about this book. no reviews | add a review
No library descriptions found. |
Current DiscussionsNonePopular coversNone
Google Books — Loading... RatingAverage:
Is this you?Become a LibraryThing Author. |
“Barangkali perjalanan ini akan panjang sedemikian rupa dengan banyak soal-soal yang tak disukainya. Lalu timbul pertanyaan-pertanyaan yang aneh. Seakan-akan ia tidak tahu dengan pasti apa sebetulnya yang sedang terjadi. Ini menyedihkan. Ia pun tak pasti lagi terhadap keputusan-keputusan yang telah diambilnya. Ia tegak di situ, digerayangi oleh kebimbangan.”
“Ia memang tidak lebih dari sampah.”
“Barangkali ia harus belajar menikmati kekalahan dari segi yang lain — kalau ia memang benar-benar kalah.”
“Seandainya memang damai saja sudah cukup.”
“Tiba-tiba ia terkejut, mungkin juga anak itu bagian dari masa mudanya.”
Stasiun bercerita dengan premis awal kebimbangan manusia dalam menjalani kehidupan, berhenti di satu stasiun dan stasiun berikutnya. Sesuai dengan pernyataan Putu Wijaya pengarang buku ini, dia memaknai kehidupan adalah perjalanan panjang melintasi stasiun-stasiun asing yang tidak pernah putus. Namun, saat kita menunggu kereta di stasiun, ke mana sebenarnya kereta yang kita tunggu itu? Kita bisa memilih kereta yang membawa kita ke stasiun berikutnya, atau terus saja, pulang.
Pemaknaan dari novel pemenang DKJ 1975 ini sangatlah filosofis, tanpa membawa melankoli sejarah atau benturan kultur yang dahsyat, Putu Wijaya bak menampar pembacanya, seorang manusia, bahwa hidup tidak lebih dari satu kebimbangan dan kebimbangan lain, atau sejatinya, hidup hanya menunggu kereta kematian menjemput.
Dalam perjalanan kita akan dipertemukan dengan orang-orang yang tidak terduga, yang membuat emosi dan perasaan kita naik turun. Semua itu bagian dari kehidupan, menentukan arah langkah kita berikutnya. Pun dalam perjalanan kita akan sering mengalami kondisi yang dialami Lelaki Tua, tokoh utama novel ini: tidak ikhlas, malu, merasa hidupnya direnggut orang lain, lebih-lebih harga dirinya. Saat dia berusaha meraih apa yang sebenarnya bisa dia raih, dia baru menyadari bahwa langkahnya tanpa tujuan dan hanya untuk menyenangkan egonya, sampai Lelaki Tua merasa apa yang dilakukannya hanya sia-sia saja. ( )